Sabtu, 11 Januari 2025
FIJI, SEKUMPUL, DAN HIDDEN WATERFAL, kuliah lapangan
Fiji, Sekumpul, dan Hidden Waterfall membentang seperti urat nadi kehidupan di Desa Lemukih Kabupaten Buleleng. Dikatakan begitu, karena distribusi airnya didaraskan hingga lima desa. Sepanjang jalan, nampak senyum gadis mungil, sapaan santun orang tua, dan tawa jejaka, yang dipadu dengan kelak-kelok teras siring yang menghubungkan kehangatan warga dengan keagungan bukit Cemara Geseng.
Rumah-rumah penduduk berwarna-warni berdiri di atas tebing terjal yang menghadap ke laut, sementara bukit-bukit membentang sangat dekat di pelupuk mata. Pohon cengkeh, durian, dan manggis menguning, diimbangi enaknya bakso dan ayam bakar Kedai Amertha Ayu.
Saya dan kesebelas mahasiswa berkesempatan menikmati pesonanya. Sungguh perjalanan jauh namun bermanfaat. Kami start pukul enam pagi, berkendara metic, berhelm, dan bersandal. Tiba di parkiran kira-kira pukul setengah delapan. Kami menjajaki tangga spiritiual, setapak demi setapak, kaki kami sentuhkan ke bumi. Ikatan emosi kaki dengan tanah nampak lekat.
Tangan kami benamkan di air, kaki kami satukan dengan tanah, kepalan kami temalikan dengan kepalan lainnya, mulut kami senyumkan dengan keriangan, rambut kami basahkan dengan sejuk, makanan kami bagikan dengan rekan, nafas kami atur dengan jantung, dan capek kami bayar dengan dahaga.
Perjalanan ini, kami beri judul “napak spiritual”, sebagai wujud mata kuliah manajemen spiritual di kampus STIE Satya Dharma Singaraja. Perlu diingat, spiritual adalah kurikulum autentik, ke mana pun kita menjelajah, spiritual mengekspresikan pikiran dan emosi kepada lingkungan, di mana kita lahir, hidup, dan bermukim. Dikatakan begitu, karena spiritual adalah panggilan peradaban.
Dua jam kami jelajahi ketiga air terjun, bebatuan kami terjang, jembatan kami simponikan dengan jepretan kamera, berkelol-kelok seperti tangga kehidupan. Naik dan turun, suka dan duka, aku dan kamu, kita dan mereka, syukuri dan nikmati, karena segalanya adalah satu. Kami berjalan seperti semut. Ini jejak spiritual kami, kata kesebelas mahasiswa saya.
Rasa takut kadang hinggap, kami sadar, ketakutan adalah awal hidup manusia, dengannya kami tegak dan lurus, itulah spiritnya. Spiritual adalah kisah kuno di alam semesta yang sudah mapan. Resepnya, kemungkinan kekecewaan sangat kecil, tatkala anda berbaur dengan spiritual sebagai pikiran alam.
Spiritual memerangi ketidakpastian masa depan dan sangat legendaris sebagai perjalanan ke dalam diri. Ini tidaklah mudah bagi kalangan mahasiswa untuk menyematkannya ke dalam mata kuliah. Tantangan baru tiba, tugas kami untuk menyelesaikannya, yang bakalan tidak pernah selesai, dengan itu spiritual dikenang dan diabadikan sebagai tangga hidup yang keras bukan kasar.
Bagaimana keras dapat membantu menyembuhkan luka, jawabnya sederhana, tidak patah dalam arti sebenarnya, yakni pesta sudah berakhir, tapi aku sudah mendarat dengan kebahagiaan. Dan aku berdiri di sudut kesakitan, tempat yang dulunya aku hindari, ternyata adalah jalan keluarnya.
Biasanya, saat orang mengatakan itu, mereka sudah selesai dengan dirinya. Sudah tidak membicarakan orang lain, tidak berbicara tentang kehilangan, namun mencari ke dalam, dan bertemu dengan diri, selamat setelah kematian adalah yang terbaik, yang ditakdirkan oleh hutan abadi, yang kerap diterpa angin, badai, dan kecongkakan, kesalehan namanya.
Lagipula, spiritual yang kita cintai bukanlah tempat, melainkan pikiran yang belum pernah merasakan jatuh cinta, karena jatuh itu sakit, jangan jatuh namun bangunlah cinta. Dua saudara, jatuh dan bangun memerangi kelemahan dan ancaman menjadi kekuatan dan peluang yang membawa harapan. Apa pun tragedinya, kata hope tetap terpatri apik di sisi bawah papan kesengsaraan.
Sengsara adalah hal yang tidak menentu, yang menceritakan kisah kegalauan. Yang dibutuhkan hanya dongeng picisan sebelum mata dipejamkan. Suguhannya menghibur, merilekskan kekalutan sesaat. Dikatakan picisan, karena si pendengar terhibur hatinya sebagai rasa hormat kepada si pencerita. Petuahnya lunak, tuturnya lembut. Hormon lelap segera tiba.
Apa yang diungkapkan mengenai spiritual adalah gulungan kuno, teks-teks yang terlupakan dan tersembunyi. Menceritakannya kembali adalah gagasan kalem, orang-orang tidak akan protes, karena panca inderawinya masih doyan keluar, masih suka dengan suka, belum suka dengan duka.
Mendung gelap menyelimuti perjalanan kami, berarti sesuatu akan terjadi. Kami pun berkeliaran dan berkelana merapikan perbekalan. Sisa minuman kaleng, roti, permen, biskuit, cokelat, dan kopi kami ikatkan. Lantunan melodi mari pulang sengau dalam suara. Kami pun tiba di rumah masing-masing pukul empat belas lewat tujuh menit.
Kamis, 09 Januari 2025
KONFLIK KANTOR dan KANTIN
Bekerja di bidang sains, mengajar, meneliti, mengabdi, hingga narasumber di berbagai lapisan organisasi, memaksa teleskop dan terompet keilmiahan di hias terus. Saya dan rekan dosen lainnya terpesona dengan cara kerja intelektual dalam mendaraskan pengetahuan. Jempol buat kebebasan individu, halangi kepentingan individu, begitu pesannya.
Dosen memiliki kesamaan, yakni kesadaran kuat bahwa setiap kantor dan kantin senantiasa dalam kondisi tegang. Apakah ini buruk?, terlalu dini menjawabnya.
Misal, jelang jam istirahat siang, bawahan siap-siap menukar kertas laporan dengan kopi gosip. Apa yang dirancang di kantor, terbongkar di kantin. Apa yang dibisikkan di kantin, terdengar di kantor.
Mata-mata ditebar, blok kanan-kiri terpampang jelas. Tangan kanan tidak tahu apa yang di tunjuk tangan kiri. Kaki kiri tidak paham, ke mana langkah kaki kanan. Akal bergeser ke rasa. Perilaku terbelah, ada yang loyal pada atasan, ke mana atasan ke sana lubang hidung menoleh. Ada yang loyal pada organisasi, kerap di kambing hitamkan. Ada yang loyal pada diri sendiri, sukanya diam dan siap-siap hengkang, kantor lain menanti.
Ini terjadi, karena setiap dinding kantor dan kantin di pasang CCTV yang berkuping tipis, lebar, dan sensitif. Mungkin juga, budaya feodal masih menyelimuti organisasi, takut tali kudanya pudar. Ataukah, atasan buruk sebagai pimpinan, baik sebagai teman. Apakah ikan busuk memang di mulai dari kepala? Apakah itu penyebabnya? Nyaris, namun bukanlah. Hehehe.
Apakah skandal telah mewarnai kantor dan kantin? Apa kita doyan membawa masalah rumah tangga (pribadi) ke kantor (publik), apa emosi diri mengalahkan argumen. Banyak sekali sudut pandangnya. Apakah lelaki di kantor merasa terhina disaingi perempuan?
Jawabnya, bukan itu. Tatkala anda luka diri, di tinggal pacar (lelaki), apa yang mesti dilakukan, apakah menyalahkan masa lalu, lantas menjual semua barang mantan pacar, dan anda klaim, bahwa semua lelaki adalah berandal. Tatkala anda di marahi atasan, karena anda pegawai baru, lantas anda menghakimi, bahwa semua atasan adalah agresif.
Yang pasti, dan mendekati benar, segala perseteruan di atas adalah tentang “DIRI”, bukan orang lain. Bila kantor tentang optimisme, maka kantin tentang pesimisme, itu bagus demi kemajuan. Bila suka tentang penyesalan, maka duka tentang kemuliaan. Luka diri adalah obat mujarab untuk menata masa depan. Setiap diri ada hantunya, SENDIRI namanya. gambar di unduh Pinterest
Rabu, 08 Januari 2025
ZERO ALKOHOL
Tujuh hari sebelum pergantian tahun, start pukul tujuh pagi, saya berkendara 200 kilometer lebih dari garase rumah, mendaki dan camping, berselancar alam. Sepanjang jalan, sapaan begitu hangat. Orang-orang mengolesi pikirannya yang hitam dengan warna putih. Lukisan ini memperlihatkan euforia diri yang telanjang bulat, jujur maksudnya.
Perang diri berkecamuk, perburuan baju, sepatu, dan topi baru memegang kendali. Begitu juga dengan kuliner. Nampak kurir hijau dan orange menghiasi pemindahan barang dari toko online ke pintu rumah. Sampah plastik dan organik menumpuk, just ok, makin banyak sampah, makin geliat ekonomi, begitu hipotesanya.
Di usia lima puluh tahunan, dua jam pegang stang motor, tangan mulai kesemutan, saya menepi di pertigaan jalan yang suntuk asap, cari warung, zero alkohol, menyamarkan kesesatan. Si punya warung nyapa, zero alkohol?, ingat saya zero alkohol sanggup nahan haus cukup panjang, selain nampak gagah, hehehe.
Saya pun bertanya, Ibu, jalan ke arah gunung ke mana?, tangan kiri meraba saku jaket, tangan kanan memantik korek api, hisap sebatang rokok. Dengan polos, belok kiri pak, dua jam dari sini, sambil memamerkan bibirnya yang manis, gincu merah muda, rambut warna cokelat kemerahan.
Teman saya nyeletuk, mata dan pertanyaanmu genit, karena saya berkecimpung di dunia akademik, pertanyaan adalah dasar ilmu pengetahuan, mata lirik ke atas dan ke bawah itu perihal lain, membenarkan kegenitan saya. Lima detik kemudian, kamera mata saya mundurkan dengan sopan, wajah cantiknya memudar. Namun, intinya bukan itu, hubungan zero alkohol dan si cantik dasarnya adalah transaksi, harga adalah substitusi yang baik, begitulah cara ekonomi bekerja. Jadi ingat teori.
Dua setengah jam kemudian, saya pun tiba di kaki gunung. Perabotan di tata, sepatu outdoor menapak, siap tempur 100.000 langkah. Ilalang, pohon pinus, dan sampah plastik menyapa. Lagi-lagi ekonomi menggeliat di gunung, ku pungut.
Lima puluh menit berjalan, bertemu orang Eropa, tangan kanan genggam tracking pole, tangan kiri peluk zero alkohol, tentu zero alkohol. Saya tanya, zero alkohol?, Yes, di mana ada zero alkohol, di sana pariwisata membara. Benar juga ya, pikir saya.
Jadi ingat buku lagi, bagaimana mendefinisikan sesuatu, caranya, berangkatlah dari ciri-ciri yang ada. Misal, saya ingin punya pacar yang tinggi, kulit putih, dan baik hati. Jadi pacar adalah seseorang yang tinggi, berkulit putih dan baik hati. Makin banyak definisi, makin mekar pengetahuan. Teori yang bagus adalah teori yang terbantahkan. Dengannya pengetahuan bertumbuh, menjalar, dan menjulur. Gambar di unduh Pinterest
Selasa, 07 Januari 2025
BREAKFAST yang berantakan
Setiap dapur punya tragedinya sendiri. Tidak ada yang lebih dibenci dapur selain mendapatkan garamnya yang hilang, breakfast, jauh dari kata berkecukupan. Dikatakan tragedi, tatkala dapur tidak mengepul. Ikan, kol, telor, dan tempe enggan bertegur sapa dengan merica, ketumbar, dan jahe. Pisau, kompor, dan wajan menampakkan wajah buram.
Sekarang pukul delapan pagi pada hari Senin. Aku pusing, malas beranjak dari ranjang, perut kosong. Tidak begitu yakin mengenakan seragam sekolah. Ini menyedihkan dan pahit, dan aku baru mengetahui, orang tua-ku berantem kemarin, gaji papa dipotong setengah, ada sesuatu yang salah di hari Minggu.
Penyesalan melampaui ambisiku. Seingatku, dapur itu tempat percobaan tentang apa pun, kecuali cinta. Karena cinta, sumber segala definisi. Dapur bukan potongan-potongan peristiwa, dia klise keadaan, yang tidak terhalang oleh kejujuran.
Aku merenung, kemiskinan di ujung lidah. Aku miskin karena berpikir miskin, ataukah apa. Aku galau, dan kembali memanggil Google. Aku search, ternyata kemiskinan bisa diproduksi oleh culture, tatkala upaya dan usaha dibelenggu. Miskin karena struktur juga ada, tatkala jerih payah di ekploitasi miring. Aku menghela nafas, bibir kubuat mekar sedikit, ternyata miskin itu pilihan, yang sanggup memberantakkan semuanya. Aku tergelitik dengan padangan teologi, kemiskinan berujung pada kebahagiaan.
Sejenak aku lega, begitu banyak reputasi dapur sebagai aset yang paling berharga. Tanpanya, rumah hanya bongkahan batu dan semen. Dapur sebagai tempat pembantaian, tatkala benar-benar kesepian. Dianggap sains, tatkala terhibur cinta dan gairah. Pendeknya, dapur berselimutkan misteri.
Aku mencoba meletakkan optimisme dan pesimisme dapur pada kedudukannya yang sama, itu yang aku dapat di bangku sekolah sebagai calon master, imajinasiku. Pikiran dapur baik sebagai kawan, buruk sebagai lawan, aku enyahkan. Ini terjadi karena baik memproduksi buruknya sendiri. begitu juga sebaliknya, buruk memproduksi baiknya sendiri.
Dengan cara itu, aku ke kamar mandi, siap-siap tampil cantik, walaupun perut kosong. Rambut kukepang jadi dua, pupur aku oleh ke pipi, seragam merah putih dikenakan, sepatu hitam kaos kaki kukenakan. Dada kubusungkan ke depan. Aku sadar, di depan ada “hope”. Kehangatan namanya.
gambar di unduh Pinterest
Senin, 06 Januari 2025
APAKAH ANDA BERPIKIR SPIRITUAL SEBAGAI INSTRUMEN MANAJEMEN?
Gambar ini saya unduh di Pinterest, yang di upload oleh Ida Ayu Hartati, mohon ijin saya share, dipakai sebagai media pembelajaran. terima kasih.
Yuk, kita langsung ke materinya. Saya terlahir berkulit sawo mateng bersih. Teman akrab saya, berkulit putih pucat, seperti seprai hotel yang setiap dua hari di ganti. Dahiku berkerut karena usia, namun ototku lumayan kendor, setengahnya masih kencang. Saya percaya, tua muda takarannya bukan umur, tetapi otot, kata orang-orang di negeri Barat. Begitu juga dengan temanku, pipinya peot, ototnya lumayan sih.
Apakah kontras fisik menghalangi pertemanan? Bila anda jawab ya, berbondong-bondong khalayak umum membentak anda. Namun, faktanya kita kadang risih dengan kontras itu. Apakah kontras indah sebagai khayalan, buruk sebagai fakta.
Siapakah yang salah? Tidak ada salah, benar juga tidak ada. Mengapa? Karena kontras adalah landasan dasar guna jaga kehangatan pertemanan. Langkah ini diambil sebagai rangkaian usaha yang sukses dalam menyelinapkan nilai-nilai spiritual sebagai instrumen manajemen yang lentur.
Spiritual jangan diartikan sempit, dia samudra dalam. Mustahil untuk mengingkarinya. Terus, bagaimana meletakkan spiritual yang elok? Ini penting di bahas. Pendeknya, spiritual itu sesuatu yang “given”, sesuatu yang ada, jauh sebelum kamu ada. Jadi, terima saja sebagai sesuatu yang bebas, di kampus dikenal sebagai variabel bebas. Dikatakan bebas, karena dia telah ditempa oleh peradaban, dan masih tegak dan lurus.
Lebih mendalam, bisa juga kok, anda selipkan sebagai variabel intervening atau penghubung antara variabel bebas dan terikat. Sebagai jembatan, dia berfungsi sebagai jembatan dalam mengurangi ketidakpastian dalam menata suatu organisasi. Lebih asik lagi, dia sebagai variabel moderasi, menguatkan ataukah melemahkan pengaruh di antara variabel bebas dan terikat. Ataukah anda letakkan dia sebagai variabel tujuan, atau terikat. Nah, konsep ini spiritual sebagai persembahan, alias panggilan.
Jadi, spiritual sangat lentur. Mengapa bisa dikatakan begitu? Ya karena “given”
Minggu, 05 Januari 2025
ebook TASBIH dan BANDIT, Cerita Doktor Dharma di Atap Bali
Karya : I Gusti Made Dharma Hartawan
Halaman : 106
Berminat : wa; 081237243157, ebook kirim by email dan wa
Harga : Rp. 10.000,-
SINOPSIS :
07 Juni 2024, sehari sesudah malam satu suro, saya, Angga, Arka, Mangnik, Restu, dan Trisna melakukan ekspedisi ke Gunung Agung. Dari sini ceritanya di mulai.
TASBIH dan BANDIT, ditoreh dengan gaya fiksi ilmiah. Dengannya, kemahardikaan benci dan cinta tak terelakkan.
Cerita Doktor Dharma di Atap Bali, berkisah tentang perjuangan manusia dalam menata kebaikan bersama, dari ordo ke ordo. Bahwa Bali tidak dirancang acak, dia postulat akademik, yang hanya bisa dibatalkan di kampus. Dalilnya, akrab dengan manusia, lingkungan, dan alam gaib.
Hidup sanggup menumbangkannya, pilih bangkit apa jatuh. Keras ke dalam, lembut ke luar adalah vitamin bagus, namun bukan obat mujarab.
Sebagai PENGEKOR (pengganggu pengetahuan orang), bukan PELAKOR dan PEBINOR, tugas generasi bisu, baby boomers, dan X meneruskan dialektika kepada generasi Y dan Z, bahwa karakter Tasbih dan bandit "Mematikan".
SELAMAT MENGGELENG
Part 1 : Tasbih dan Bandit, Cerita Doktor Dharma di Atap Bali
DESKRIPSI :
Saya punya pekerjaan yang mengharuskan kaki banyak berjalan. Tidak selalu seribu langkah per hari. Kaki mengetahui banyak hal tentang capaian hidup, melalui percakapan di internet, saya mendengar kaki alat transportasi pertama yang mesti hangat.
Bulan Juni, dua kosong dua empat, pukul lima pagi lewat dua puluh lima menit, saya berpijak di ketinggian 3.142 MDPL. Nampak Gunung Rinjani di ufuk Timur. Di Barat menjulang deretan gunung yang ada di Tabanan dan Buleleng. Batukaru, Sanghyang, Lesung, Tapak, Adeng, Pohen dan Catur. Yang paling jelas Abang dan Batur.
“Takjub mendaras. Mural tidak mempersoalkan apa pun, bibir etika lingkungan berbisik, terima kasih.”
Di tengah lipstik sun rise yang aduhai, sayup-sayup saya mendengar dua orang asing saling bertegur tanya, berdebat tentang harga.
“Seratus dua puluh tujuh dolar untuk mendaki Gunung Agung? seru cowok Prancis sambil mengangkat tracking pole. Tapi, pantas saja bayar segitu, desak cewek Belanda. Makin bagus harga, makin sayang pada sesuatu. Prinsipnya, harga adalah substitusi yang baik.”
Si cowok mengawali dengan pertanyaan “Apa yang membedakan Bali dengan pulau lainnya?” dan kemudian dengan cepat berpaling ke kenikmatan yang menyejukkan.
Saya tidak dapat menahan kantuk mendengar ironi ini. Saat lautan awan tidak menghalangi matahari untuk merona, saya baru saja habis makan buah Ara. Mungkin kedua tamu itu belum baca Marx. Ya, pantas saja, dia-kan orang Jerman, pikir saya.
“Bali adalah suatu pulau dan tempat di mana dewa-dewi dilahirkan. Pusat liburan dengan bantuan mantra-mantra.”
Terus, apa yang membedakannya? Pola Produksi. Hal ini dengan mudah menerangkan, mengapa ada orang menganggap rimba sebagai ekspedisi kepemimpinan yang bagus. Hubungan yang sama sederhananya dengan mengetahui, apa kegiatan dasar manusia? Kerja, terus apa yang mendamaikannya? Pembagian kerja.
“Ada sesuatu yang memuaskan emosional tentang pola produksi. Bila cara produksi ngomong tentang perjanjian kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka hubungan produksi berbicara tentang distribusi pendapatan berkeadilan. Interaksi di antara keduanya menciptakan aliran modal.”
Bali menarik bagi naluri investasi, yang menjanjikan surga sambil membuat harga barang dan jasa makin mahal. Hasrat di balik ini, nilai tukar petani lebih direndahkan dari nilai tukar pariwisata. Dengan begitu, tanah di jual.
“Dulu orang Bali menyembah patung agar panen berhasil. Kini menjual patung untuk membeli hasil panen.”
Mengapa sebagian besar kecurigaan dituduhkan kepada tanah. Bisa saja salah. Untuk waktu yang lama, saya pikir tanah bukanlah biak kerok. Dugaan saya akurat, dalilnya sama dengan, Mengapa macet padahal jalan terus dibuat dan diperlebar? Karena kepemilikan atas kendaraan tidak di atur. Begitu juga dengan tanah, nomor sertifikatnya mesti sama dengan nomor rekening bank, pajak, dan nomor kendaraan. Bila tidak, niscaya kelabu, tidak hangat. Untuk tidak berkata dekil.
“Ini adalah konsep dasar di balik maraknya tanah di jual dan macetnya jalan. Mana mungkin, bahagia tatkala keakraban dengan manusia, lingkungan, dan alam gaib goyah oleh ketamakan. Sebidang tanah mengajarkan tentang kehidupan dan ketahanan.”
Saya tidak yakin, ikatan emosional kita dengan tanah terjaga. Sebuah permohonan, mengingat perasaan tanah terluka, agar kepemilikan dibatasi. Ini realitas, yang menjadikan Bali tercebur ke dalam kotak Pandora. Tanah menangis, tidak yakin apa arti dirinya, dia yakin seberapa buruk ketidakpastian akan menghantui ke depannya.
“Betapa mengerikan, tatkala kemalangan menimpa dan semua orang berteriak. Betapa gembiranya, tatkala sebidang tanah tersedia buat cetak momen-momen indah dengan anak cucu.”
Ada beberapa kesalahan di level pengambilan keputusan, tepatnya ada pilihan yang disengaja. Skenario terburuk, badai datanglah, niscaya penyakit berhamburan, yang tersisa hanya ‘Hope.’ Sekutu terbaik, mengubah konsep pemenuhan pribadi menjadi aksi saling balas membantu. Ini sel primitif yang berasal dari mistik kuno. Kontribusinya tulus, terpatri di setiap kerutan kening.
“Bukan rahasia lagi, harmoni merukunkan kompetisi, dan kompetisi menyehatkan harmoni. Saya rasa ini tidak cacat, karena Bali telah berlari dari ordo keperkasaan raja ke ordo kebenaran natural hingga ordo keadilan republik dan kejujuran digital.”
Ambil kendali atas hidup anda, temukan momentum penting yang menandai anda, apa yang anda inginkan, raihlah. Jadikan monumen, karena aroma tanahnya masih segar. Mentari dua belas jam mewarnai lentik jari-jemari penari dan pelukisnya.
Bukan muluk-muluk, Bali itu ziarah sekala (nyata) niskala (mungkin nyata). Apa yang ada di sekala, ada di niskala. Berlaku juga sebaliknya. Perjalanan suka duka pasang surut, muncul lantas tenggelam. Bila suka adalah duka yang tertunda, maka duka adalah suka yang tertunda. Suka berumur pendek dalam penyesalan, duka berumur panjang dalam kemuliaan.
“Kisah semacam ini disengaja bukan gratis dari langit. Epiknya terpahat apik di secarik kertas, ditoreh dengan pena asing. Tidak ada alamat, tidak ada nomor telepon, hanya alegori keseimbangan, yang tidak dikenali.”
Pancaran nada dasarnya ‘Keselarasan’. Kaum brahmana (pendeta) produksi moral, kesatria (pejabat publik) menghasilkan keadilan, waisya (pedagang) produksi material, dan sudra (pekerja) menghasilkan nilai.
“Sayangnya, struktur masyarakat ideal kami ini sekadar teks. Saya masih berjibaku menumpuk material, agar setiap pagi dapur mengepul. Umur lima puluh tahunan, pantas saya mendapatkan kehidupan tanpa utang, mendapati diri bermukim di tempat sunyi.”
Saya tidak mencari restoran mewah, secangkir kopi Arabika lima puluh ribu rupiah, atau sepiring nasi goreng sea food tiga puluh lima ribu rupiah. Semua itu enak, maksud saya tidak satu pun dari ini memproduksi kehangatan warga.
Saya ingin, orang asing tidak ada yang tersesat. Kerasnya orang lokal jangan diartikan kasar. Nilai tukar petani dijamin, angka partisipasi sekolah sarjana, equal untuk perempuan. Kamar mandi umum wanita jumlahnya lima kali lebih banyak dari pria, karena perabotannya banyak.
Celingak-celinguk turis di bandara, uangnya full ke Bali, ritual di setiap rumah dianggarkan di belanja pemerintah. Tarian di balairung hotel. Lukisan di dinding restoran. Dodol desa Penglatan di rak Indomaret. Generasi milenial dan zenial giat ke gunung.
“Inilah yang menarik orang datang, secuil kenangan. Bali itu tentang nilai, pantai tentang kebersihan, gunung tentang kesucian, perilaku tentang kepolosan, watak tentang keluguan, gotong-royong tentang panggilan. Sayangnya saya belum memancarkan apa-apa.”
Bagaimana yang tertindas sanggup mempertahankan pejuang tulen? Maksud saya, kehidupan jauh sebelum Majapahit. Film di Youtube, sekilas menggambarkan perdebatan tentang persepsi Bali kuno, yang percaya bahwa emosi musti diendapkan, untuk hindari konflik terbuka. Dengan cara, tebar ketakutan. Tidak boleh ke sana, ada setan.
“Realitasnya, kesadaran digelapkan oleh keadaan. Tetua merancang kata ‘Inggih’ untuk disamarkan. Artinya bukan ‘Ya,’ namun ‘Menghormati’ petuah orang yang disegani.”
Tujuannya, menjalani perintah tuan. Fungsinya, menumpas perompak. Keberhasilannya dibangun atas upaya orang-orang yang ditundukkan. Segalanya dibuat oleh dan untuk tuanku.
“Ranjang tidurnya proper dengan tubuh majikan. Dia layani rakyat memakai udelnya. Yang lelaki, dikebiri. Perempuan, dijadikan hiasan dapur, the second sex. Ini kegagalan dalam arti sesungguhnya, yakni; suatu konsep yang belum selesai, tugas andalah untuk menyelesaikannya, yang bakalan tidak pernah selesai. Dengan cara itu budak bertumbuh.”
Pendek cerita, dipenggalnya kepala raja Louis XVI menjadi momentum robohnya keperkasaan raja di seluruh daratan. Euforianya membahana hingga ke pelosok. Keajaiban budaya mekar, delapan belas jam kerja ke sepuluh jam per hari, bangun sebelum fajar dan tidur terlalu larut terhenti.
“Pasar yang awalnya hiruk pikuk, kini keriput. Properti di obral. Demi roti dan salad, pikiran, tenaga, dan modal kaum pedagang mencuat ke publik. Republik bergema, menggelegar.”
Hal yang paling mengejutkan saya adalah ide republik meliuk-liuk. Bukan obat mujarab. Anehnya dielu-elukan, padahal labil, seolah-olah serba bisa, yang sanggup mengobati dirinya sendiri tatkala sakit. Dagangannya, keadilan lewat pajak. Tuannya rakyat, pelayannya pemerintah. Maju tak gentar membela yang bayar. Tumpul ke kawan, tajam ke lawan.
Sebagai tuan fahrenheit yang murah senyum. Republik menerangi gelap dengan lampu warna warni, gegap gempita. Sekejap, café penuh kursi-kursi vinil. Estetika toko mewah, segelas anggur mudah diteguk. Restoran cepat saji menjamur dalam jarak tiga kilo. Ketenaran republik yang disponsori kapitalis tengik dan tengil ditata influencer.
Ini tontonan, bukan acara televisi yang penting. Republik di asuh gerombolan badut, menguras anggaran dan memaku kursi kekuasaan. Yang darurat, dinormalkan. Yang normal, didaruratkan. Ledakan bom molotot dan suara rakyat membuatnya terpencar. Ini contoh kejadian di awal gerakan hak sipil Eropa.
“Bukan Sinterklas yang mengubah keadaan, ini pekerjaan ‘Invisible Hand’ dengan traktat setiap individu dibebaskan dalam tatanan berusaha dan berupaya. Adam Smith, The Wealth of Nations. Doktrin, bekerja keras demi kemakmuran.”
Pasca ditemukannya mesin uap, kompas, dan mesiu, Barat yakin bahwa industri membawa surga ke dunia. Produksi besar-besaran, namun nasibnya naas, harga-harga terjungkal bebas. Pengangguran merajalela. Neraka menganga di depan mata. Kesadaran muncul, ini bukanlah keadaan yang diidamkan.
“Kegalauan di tengah ketidakpastian, memaksa Barat berpikir ulang, memutuskan mencari pulau yang belum dijamah kedekilan.”
Awalnya tiba di daratan luas, sayang primitif. Bukan ini. Pencarian dilanjutkan. Tibalah di pulau cantik, ada sun, sea, dan sex saja. Ada yang hilang. Apa itu? Terlalu dini untuk dijawab. Pencarian diteruskan.
Suatu hari, tibalah mereka di Timur pulau Jawa. Langit berbintang, purna candra menguning. Nafas tanah segar. Religius, otentik, magis, dan lekat dengan alam. Langit dibumikan. Tidak ada yang mati, seperti taman Firdaus dan kupu-kupunya. Ada sun, sea, sex, dan culture. Barat tersipu, ada pulau perawan, mereka memberi label sebagai surga terakhir di muka bumi.
“Mengapa bisa terjadi? Karena dilahirkan tidak sempurna. Butuh otak, tangan, dan kaki orang lain untuk bertahan hidup. Sudah bisa diduga, budaya saling balas membantu mengakar sebagai sarana penilai dan penghukum yang kompatibel.”
Pencitraan ulang tentang pencarian surga terakhir menimbulkan kontroversi. Buku, spanduk, dan iklan berseliweran. Ajaib, Bali tersohor dalam hitungan bulan. Propaganda seperti itu tidak ditentang, malahan disoroti valid atas nama perlindungan, dibaliknya perampasan.
“Ribuan mil di luar Bali, kampanye diskriminasi dibenarkan. Dari Black Codes, Slave Codes hingga Jim Crow. Dengan bantuan peri, kolonisasi diakhiri dengan penaklukan, sambil menyeringai: Kami pikir itu semua sudah diatur.”
Masuknya kopi Robusta meminggirkan Jaka (enau). Boikot produk asing malah merusak norma lokal. Kepemilikan dibebaskan di tingkat individu. Sistem tuan tanah, warisan kolonial menggeser kerja berbasis ikatan kekeluargaan menjadi sewa.
Tujuannya sedikit revolusioner, kerja sebagai in put ke kerja sebagai investasi dan kerja sebagai norma. Dulu kerja diperlakukan kasar dan sering bekerja melebihi ketentuan kontrak, kini semuanya bereaksi terhadap hasil, dan itu adalah panggilan.
“Republik industri terancam beku pangan, eksploitasi pupuk kimia membuat burung-burung enggan hinggap di pohon buah di musim semi, Rachel Carson, Silent Spring. Orang-orang tidak sepenuhnya memahami environmental ethic and gender quality sebagai the new kinds of justice.”
Bobroknya, banyak yang kesurupan di bagian terlarang Dark Web, sebagai ekosistem digital yang dirahasikan, sulit dilacak, dipenuhi mata-mata, yang disetujui penguasa. Narkoba, pornografi, pembunuh bayaran, pembangkang, peretas, judi, senjata illegal, dan sejenisnya. Berselancar dengannya full dolar.
“Di dunia labirin, tidak ada agama yang terlibat, hanya ada kreativitas. Kejujuran tulus di niskala, kebohongan pongah di sekala. Keduanya intrik, agar big data, genom, dan artificial intelligence bergerilya.”
Pukul setengah delapan pagi saya melandai, dari sini epos Tasbih dan Bandit on, sebagai fiksi ilmiah yang menjanjikan.
Langganan:
Postingan (Atom)