Sabtu, 11 Januari 2025
FIJI, SEKUMPUL, DAN HIDDEN WATERFAL, kuliah lapangan
Fiji, Sekumpul, dan Hidden Waterfall membentang seperti urat nadi kehidupan di Desa Lemukih Kabupaten Buleleng. Dikatakan begitu, karena distribusi airnya didaraskan hingga lima desa. Sepanjang jalan, nampak senyum gadis mungil, sapaan santun orang tua, dan tawa jejaka, yang dipadu dengan kelak-kelok teras siring yang menghubungkan kehangatan warga dengan keagungan bukit Cemara Geseng.
Rumah-rumah penduduk berwarna-warni berdiri di atas tebing terjal yang menghadap ke laut, sementara bukit-bukit membentang sangat dekat di pelupuk mata. Pohon cengkeh, durian, dan manggis menguning, diimbangi enaknya bakso dan ayam bakar Kedai Amertha Ayu.
Saya dan kesebelas mahasiswa berkesempatan menikmati pesonanya. Sungguh perjalanan jauh namun bermanfaat. Kami start pukul enam pagi, berkendara metic, berhelm, dan bersandal. Tiba di parkiran kira-kira pukul setengah delapan. Kami menjajaki tangga spiritiual, setapak demi setapak, kaki kami sentuhkan ke bumi. Ikatan emosi kaki dengan tanah nampak lekat.
Tangan kami benamkan di air, kaki kami satukan dengan tanah, kepalan kami temalikan dengan kepalan lainnya, mulut kami senyumkan dengan keriangan, rambut kami basahkan dengan sejuk, makanan kami bagikan dengan rekan, nafas kami atur dengan jantung, dan capek kami bayar dengan dahaga.
Perjalanan ini, kami beri judul “napak spiritual”, sebagai wujud mata kuliah manajemen spiritual di kampus STIE Satya Dharma Singaraja. Perlu diingat, spiritual adalah kurikulum autentik, ke mana pun kita menjelajah, spiritual mengekspresikan pikiran dan emosi kepada lingkungan, di mana kita lahir, hidup, dan bermukim. Dikatakan begitu, karena spiritual adalah panggilan peradaban.
Dua jam kami jelajahi ketiga air terjun, bebatuan kami terjang, jembatan kami simponikan dengan jepretan kamera, berkelol-kelok seperti tangga kehidupan. Naik dan turun, suka dan duka, aku dan kamu, kita dan mereka, syukuri dan nikmati, karena segalanya adalah satu. Kami berjalan seperti semut. Ini jejak spiritual kami, kata kesebelas mahasiswa saya.
Rasa takut kadang hinggap, kami sadar, ketakutan adalah awal hidup manusia, dengannya kami tegak dan lurus, itulah spiritnya. Spiritual adalah kisah kuno di alam semesta yang sudah mapan. Resepnya, kemungkinan kekecewaan sangat kecil, tatkala anda berbaur dengan spiritual sebagai pikiran alam.
Spiritual memerangi ketidakpastian masa depan dan sangat legendaris sebagai perjalanan ke dalam diri. Ini tidaklah mudah bagi kalangan mahasiswa untuk menyematkannya ke dalam mata kuliah. Tantangan baru tiba, tugas kami untuk menyelesaikannya, yang bakalan tidak pernah selesai, dengan itu spiritual dikenang dan diabadikan sebagai tangga hidup yang keras bukan kasar.
Bagaimana keras dapat membantu menyembuhkan luka, jawabnya sederhana, tidak patah dalam arti sebenarnya, yakni pesta sudah berakhir, tapi aku sudah mendarat dengan kebahagiaan. Dan aku berdiri di sudut kesakitan, tempat yang dulunya aku hindari, ternyata adalah jalan keluarnya.
Biasanya, saat orang mengatakan itu, mereka sudah selesai dengan dirinya. Sudah tidak membicarakan orang lain, tidak berbicara tentang kehilangan, namun mencari ke dalam, dan bertemu dengan diri, selamat setelah kematian adalah yang terbaik, yang ditakdirkan oleh hutan abadi, yang kerap diterpa angin, badai, dan kecongkakan, kesalehan namanya.
Lagipula, spiritual yang kita cintai bukanlah tempat, melainkan pikiran yang belum pernah merasakan jatuh cinta, karena jatuh itu sakit, jangan jatuh namun bangunlah cinta. Dua saudara, jatuh dan bangun memerangi kelemahan dan ancaman menjadi kekuatan dan peluang yang membawa harapan. Apa pun tragedinya, kata hope tetap terpatri apik di sisi bawah papan kesengsaraan.
Sengsara adalah hal yang tidak menentu, yang menceritakan kisah kegalauan. Yang dibutuhkan hanya dongeng picisan sebelum mata dipejamkan. Suguhannya menghibur, merilekskan kekalutan sesaat. Dikatakan picisan, karena si pendengar terhibur hatinya sebagai rasa hormat kepada si pencerita. Petuahnya lunak, tuturnya lembut. Hormon lelap segera tiba.
Apa yang diungkapkan mengenai spiritual adalah gulungan kuno, teks-teks yang terlupakan dan tersembunyi. Menceritakannya kembali adalah gagasan kalem, orang-orang tidak akan protes, karena panca inderawinya masih doyan keluar, masih suka dengan suka, belum suka dengan duka.
Mendung gelap menyelimuti perjalanan kami, berarti sesuatu akan terjadi. Kami pun berkeliaran dan berkelana merapikan perbekalan. Sisa minuman kaleng, roti, permen, biskuit, cokelat, dan kopi kami ikatkan. Lantunan melodi mari pulang sengau dalam suara. Kami pun tiba di rumah masing-masing pukul empat belas lewat tujuh menit.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar